Oleh Rizki Nur Zakiah
Ilmu Administrasi Negara FIS UNP
Budaya
Budaya secara harfiah
berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki artimengerjakan tanah,
mengolah, memelihara ladang (menurutSoerjanto Poespowardojo 1993). Menurut The American Herritage Dictionary
mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang
dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil
kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. Menurut
Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri
manusia dengan cara belajar.
Budaya ialah segala
tindakan keatas sesuatu sehari-hari yang diperoleh seseorang daripada
kebiasaan, yang merupakan sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan melekat pada
dirinya melalui pengalaman dalam kehidupan kelompok masyarakatnya
(Koentjaraningrat, 2002). Keadaan ini terbentu dengan kekhasan etnik, keadaan
geogfrafis suatu daerah. Karena kehidupan manusia senantiasa dalam berkelompok
maka sejalan dengan persebaran kelompok manusia terbentuk berbagai etnik yang
mempunyai kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai dasar
membentuk aturan dalam kelompok masyarakat tersebut.
Budaya
kerja
Budaya
Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu
kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat,
pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.
Budaya ialah segala tindakan keatas sesuatu
sehari-hari yang diperoleh seseorang daripada kebiasaan, yang merupakan sistem
gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan melekat pada dirinya melalui pengalaman dalam
kehidupan kelompok masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2002). Keadaan ini terbentu
dengan kekhasan etnik, keadaan geogfrafis suatu daerah. Karena kehidupan
manusia senantiasa dalam berkelompok maka sejalan dengan persebaran kelompok
manusia terbentuk berbagai etnik yang mempunyai kepercayaan dan nilai-nilai
yang diyakini bersama sebagai dasar membentuk aturan dalam kelompok masyarakat
tersebut.
Budaya kerja adalah
suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi
sifat, kebiasaan dan juga pendoong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan
tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta
tindakan yang terwujud sebagai kerja.
Etnis Mandailing
Suku
Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun
matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di
Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda di suku Batak lainnya,
yang mengenal hampir 500 marga. Seperti halnya di
Karo, Nias, Gayo , Alas, marga-marga di Mandailing umumnya tak
mempunyai keterkaitan kekerabatan dengan Batak.
Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), rambe, Dalimunthe,Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay (Daulae), Matondang, Hutasuhut.
Marga-Marga Mandailing, menurut hatobangon ( orang yang di tuakan ), di
Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbagi kepada Lubis
Huta Nopan dan Lubis Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang,
Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang pula
adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan,
Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Lubis,
Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia,
Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean,
Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga).
Di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar,
Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan,
Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas. Menurut
Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di
Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae,
Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri,
Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon,
Siregar, Tanjung.
Etnis
Mandailing merupakan salah satu sub etnis Batak yang berdiam diri di wilayah
sepanjang Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Utara tepatnya di daerah Tapanuli
bagian Selatan. Pembagian wilayah di Sumatera Utara yang menyebabkan
pengelompokan daerah-daerah tersebut dalam satu kelompok suku bangsa Batak
dilakukan oleh bangsa Belanda ketika pertama kali datang ke daerah ini.
Pembagian wilayah tersebut terus berlangsung sampai saat ini sehingga
masyarakat luas hanya mengetahui bahwa Mandailing merupakan bagian dari daerah
suku bangsa Batak (M. Arbain Lubis, 1993
: 3).
Masyarakat Mandailing menyatakan bahwa kelompok
masyarakat mereka bukan ‘Batak’ seperti yang selama ini diketahui banyak orang.
Sejak lama masyarakat Mandailing tidak mau disebut sebagai orang Batak. Mereka
banyak mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Mandailing
berbeda dengan orang Batak. Beberapa bukti berupa data dan penelitian tentang
asal usul Mandailing semakin memperkuat kepercayaan tersebut dan melahirkan
pernyataan baru yang mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Batak yang ada
sekarang ini justru berasal dari Mandailing.
Tipe masyarakat Mandailing
Etnis
Mandailing merupakan orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun
dimanapun ia bertempat tinggal, adapun marga atau klan
dari etnis Mandailing adalah Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara,
Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lainnya,
sebagai tambahan adalah marga tersebut diperoleh berdasarkan garis keturunan
langsung dari pihak ayah (Patrilineal) sehingga marga yang diperoleh
berdasarkan pemberian tidak berfungsi atau bermakna apapun, pemberian marga
merupakan suatu proses penghormatan terhadap seseorang yang dinilai memiliki
peran besar terhadap kehidupan masyarakat Mandailing, namun pada saat sekarang
ini pemberian marga dilakukan secara sepihak oleh sebahagian golongan dengan
tujuan yang mementingkan diri sendiri.
Secara sederhana masyarakat
Mandailing dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1.
Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan peduli terhadap adat budaya
Mandailing,
2. Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
3. Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
4.Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
5. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
6. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
7. Golongan yang menerima pemberian marga dan peduli serta paham adat Mandailing,
2. Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
3. Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
4.Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
5. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
6. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
7. Golongan yang menerima pemberian marga dan peduli serta paham adat Mandailing,
Dari beberapa golongan tersebut yang
menjadi fokus penulisan adalah sikap yang muncul dari masyarakat Mandailing
yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak memiliki pemahaman yang
memadai terhadap adat budaya Mandailing, pada satu sisi golongan ini berusaha
untuk mempersepsikan masyarakat Mandailing menurut pemikirannya sendiri tanpa
ada respon dari masyarakat Mandailing itu sendiri dan pada sisi lainnya
golongan ini berupaya untuk menjadi sumber informasi atas adat budaya
Mandailing dengan tujuan membentuk citra individu, hal seperti ini lazim
terjadi karena beberapa faktor pendukung, antara seperti : 1. Kebutuhan
ekonomi, 2. Otoriter, 3. Pemahaman yang kurang terhadap adat budaya Mandailing.
Sistem
Kemasyarakatan
Berbicara tentang sistem kemasyarakatan, dalam
hubungannya dengan masyarakat Mandailing, berarti berbicara pula tentang sistem
adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Adat sejak lama telah mengatur
dan memberi ketetapan berupa hukum-hukum adat dalam berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat. Sekalipun agama dan sistem-sistem lainnya terdapat dalam
kehidupan, namun peranan sistem adat yang telah berlaku sebelumnya tampak masih
mendominasi, terutama dalam kehidupan tradisional. Masyarakat Mandailing
tersusun dalam kelompok-kelompok patrilineal genealogis. Garis turunan
mengikuti pihak ayah. Seorang anak termasuk dalam marga ayahnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu
hubungan permanen antara kelompok kerabat yang disebut dalihan na tolu. Dalihan
na tolu berarti ‘tungku yang tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk
menjamin keutuhannya serta menjamin keselamatan apa saja yang ditaruh di
atasnya. Susunan seperti itu ditemukan dalam peraturan adat guna kemantapan
dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah keluarga atau sebagai anggota
masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan dalam lembaga dalihan na tolu.
Dia merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga yang timbul sebagai
akibat dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di satu pihak dan
menurut garis keturunan di pihak lain.
Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen
lembaga ini adalah: kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah
barisan keturunan laki-laki yang berasal dari satu ayah asal atau nenek. Mereka
tergabung dalam satu kelompok marga menurut marga ayah asal dan mereka terhadap
sesamanya akan bertutur kahanggi. Selanjutnya, kahanggi yang
masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora adalah
kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat. Anakboru
ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara perempuan atau
pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak selamanya berfungsi
sebagai kahanggi, mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja
terjadi pergantian fungsi antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi dari
marga-marga lain. Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih
fungsi menjadi anakboru pada kesempatan lain, yaitu pada upacara adat
yang diadakan oleh pihak yang menjadi pengambilan anak gadis baginya. Untuk
jelasnya, seorang dari kelompok marga Nasution, misalnya, yang menjadi anakboru
bagi kelompok marga Lubis karena mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi
mora pula bagi kelompok marga Hasibuan disebabkan yang bermarga Hasibuan
mengambil anak gadis dari keluarga Nasution. Demikian seterusnya, sehingga pada
setiap anggota dari kelompok marga yang satu terdapat tiga fungsi secara
menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia dalam suatu upacara adat.
Minimal, kelompok kerabat yang tiga tersebutlah yang
bertanggungjawab atas terlaksananya suatu upacara atau musyawarah adat. Untuk
kesempurnaan musyawarah, dalihan na tolu lazimnya dilengkapi dengan
kehadiran pengetua adat dan hatobangon. Hatobangon adalah
perwakilan dari setiap kelompok marga yang dituakan oleh masyarakat karena
kepandaian dan kecakapannya dalam bidang peradatan, di samping kepribadiannya
yang terpuji. Pengetua adat, yang biasa disebut panusunan bulung atau raja
na toras, adalah pihak yang berkuasa pada suatu kampung. Jika sesuatu sudah
merupakan hasil mufakat bersama dari kelima komponen tersebut, segala
sesuatunya harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Keutuhan hasil mufakat bersama biasanya disimbolkan
dengan kehadiran perangkat burangir ‘sekapur sirih’. Burangir yang
terdiri dari: daun sirih, kapur sirih, gambir, pinang, tembakau; masing-masing
merupakan simbolisasi dari pihak yang turut dalam penetapan suatu keputusan.
Daun sirih, kapur sirih, gambir, ketiganya merupakan simbolisasi keikutsertaan
pihak suhut, kahanggi, dan anakboru; sedangkan pinang dan
tembakau menyimbolkan mora dan hatobangon atau pengetua adat
dalam majelis peradatan. Apabila kelimanya telah disatukan, setelah dikunyah,
akan menghasilkan air pekat berwarna merah padam yang dengan detergen apapun
digunakan dalam upaya menghilangkannya, setelah mengenai kain putih, biasanya
akan berakhir dengan sia-sia. Demikian kekutan putusan musyawarah adat yang
disimbolkan dengan kehadiran burangir.
Budaya
Masyarakat Mandailing
1.
Budaya
Kerja
“Giot Ipas”...
Giot ipas tersebut adalah bentuk cara kerja
yang dilakukan dengan maksud ingin suatu pekerjaan itu cepat selesai dikerjakan
oleh PNS yang berasal daripada etnik Mandailing.
Mandailing merupakan nama suku bangsa (etnik)
yang mendiami sebahagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing
Natal, provinsi Sumatera Utara. Sebagian dari mereka telah mulai bermigrasi ke
Pasaman dan Pasaman Barat sejak lama, bahkan telah terjadi sebelum keberadaan
kaum Paderi di Sumatera Barat (Minangkabau). Namun, orang Mandailing bermigrasi
dalam jumlah besar ke Pasaman terjadi pada awal abad XVIII. Hal ini disebabkan
peristiwa pemberontakan tiga kerajaan Gunung Tua, Pidoli Lombang, Pidoli Dolok
dan Pidoli Lombang, terhadap kekuasaan Baginda Mangaraja Enda, raja diraja
Mandailing Godang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
bagi melihat budaya kerja etnik dalam kalangan PNS di Kabupaten Pasaman Barat,
Provinsi Sumatera Barat. Fokus penelitian ini pada bentuk budaya kerja yang
disebut dengan istilah digunakan dalam penelitian ini adalah budaya kerja Giot Ipas. Makna Giot Ipas merujuk berbagai sumber literatur dalam penelitian
Damanik, dkk (2005); Sya’roni (2008); Syahron Lubis (2009); Aldri dan Muhamad
Ali (2011) ; Aldri dan Muhamad Ali (2012) ; Aldri (2012); Dona (2012) dan Hetti
( 2012). Hasil penelusuran pemaknaan tersebut juga dilakukan beberapa orang
masyarakat berasal dari etnik Mandailing di Kabupaten Pasaman Barat maupun yang
berdomisili di Kota Padang, sebelum melakukan pengumpulan data di lapangan,
bermakna yaitu Ingin Cepat Selesai.
Dengan demikian pemaknaan yang digunakan dalam penelitian ini budaya kerja giot
ipas tersebut adalah bentuk cara kerja yang dilakukan dengan maksud ingin suatu
pekerjaan itu cepat selesai dikerjakan oleh PNS yang berasal daripada etnik
Mandailing. Informan dipilih dengan cara purposive
dengan kriteria PNS yang berasal etnik Mandailing bekerja pada pemerintah
daerah kabupaten Pasaman Barat.
- Pragmatik Perangkat Tindak TUTUR
Tuturan pada dasarnya dapat dibedakan atas dua jenis. Yang pertama
adalah tuturan yang bersifat performatif dan tuturan yang bersifat konstantif. Selanjutnya,
dinyatakan bahwa semua tuturan pada dasarnya bersifat performatif, yang berarti bahwa dua hal terjadi
secara bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action), dan kedua berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu ilokusi, lokusi, dan perlokusi (lihat Austin dalam Saeed 2000). Ilokusi merupakan tuturan dengan sekaligus melakukan sesuatu. Lokusi dimaksudkan sebagai pengucapan kalimat yang memiliki makna dan rujukan tertentu. sedangkan perlokusi merujuk pada tuturan
yang digunakan untuk memperoleh efek-efek tertentu, seperti membuat orang merasa terhibur,
lebih yakin, ataupun marah. Selanjutnya, konsep performatif dapat meliputi bentuk
tuturan yang eksplisit dan implisit. Jenis perfomatif yang implisit ternyata jumlahnya lebih banyak
daripada yang eksplisit. Sebagai contoh tuturan performatif yang implisit dan eksplisit
masing-masing dapat ditemukan pada yang berikut ini.
implisit : Ro
ma ahu.
datang lah aku
‘Saya (akan) datang’.
eksplisit : Marjanji
bahaso ahu nangkan ro.
Berjanji bahwa aku akan datang
‘Saya berjanji bahwa saya akan datang’.
Salah satu pendekatan dalam kajian makna yang saat
ini sedang berkembang adalah teori tentang tindak tutur (theory of speech
acts). Teori ini memandang semantik dengan liputan konteks yang lebih luas
dalam komunikasi manusia. Unit dasar komunikasi dalam teori ini lebih
ditekankan pada tindak tutur daripada sebatas kalimat. Terdapat tiga jenis
tindak tutur, yaitu: lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi dimaknai
sebagai tuturan faktual kalimat dengan arti tertentu. Ilokusi, sebagai
maksud yang penutur miliki pada kalimat yang dituturkan; sedangkan perlokusi
merupakan perolehan hasil dari penuturan kalimat. Di antara ketiga jenis tindak
tutur tersebut, ilokusi lazimnya mendapat pembicaraan yang lebih banyak dari
ahli. Lebih lanjut, ada yang membaginya ke dalam lima kategori ilokusi, yang
terdiri
dari ilokusi representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.
Adanya daya ilokusi dalam tindak tutur membabitkan petutur untuk mengombinasikan
pengetahuan linguistiknya dengan latar pengetahuan budaya serta pemahaman
terhadap konteks saat bertutur. Penentuan pilihan penanda tindak tutur ternyata
tidak
mudah karena penanda linguistik tidak berperan tunggal dalam operasionalnya.
Jenis kalimat yang dikenal belum tentu selalu berkorelasi dengan tindak tutur.
Dari uraian diperoleh isyarat bahwa kecekatan inferensial serta prinsip-prinsip
percakapan bagi petutur amat menentukan dalam memahami suatu tindak tutur.
Dalam interaksi sosial dikenal yang disebut
kesantunan berbahasa, atau kesantunan saja. Kesantunan merupakan upaya sadar seseorang
dalam menjaga keperluan muka orang lain. Istilah muka dimaknai sebagai citra
diri seseorang dalam masyarakat. Terdapat dua aspek terkait dengan istilah
muka, yaitu muka positif dan
muka
negatif. Muka positif mengacu kepada kebutuhan untuk diterima dan disukai orang
lain dalam kehidupan sosial; sedangkan muka negative merupakan hak seseorang
untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang
lain. Setiap jenis muka memiliki keinginan yang berbeda yang dapat disikapi
melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masingmasing disebut
kesantunan positif dan kesantunan negatif. Kesantunan positif berorientasi pada
penyelamatan
muka positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang
yang maksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa
solidaritas dengan pendengarnya. Kesantunan negative merujuk kepada tuturan
yang orientasinya menyelamatkan muka negatif orang lain. Dalam setiap budaya,
termasuk budaya penutur bahasa Mandailing, ditemukan adanya prinsip umum kesantunan.
Di antara prinsip umum kesantunan itu adalah sifat kearifan, murah hati, rendah
hati, dan sifat simpatik terhadap orang lain. Dalam masyarakat Mandailing,
prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat
setempat, baik formal maupun informal.
- Dalihan Na Tolu
Dalihan na tolu berarti ‘tungku yang
tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk menjamin keutuhannya serta menjamin
keselamatan apa saja yang ditaruh di atasnya. Susunan seperti itu ditemukan
dalam peraturan adat guna kemantapan dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah
keluarga atau sebagai anggota masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan
dalam lembaga dalihan na tolu. Dia
merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga yang timbul sebagai akibat
dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di satu pihak dan menurut
garis keturunan di Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen lembaga ini
adalah: kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah barisan keturunan laki-laki yang berasal dari satu
ayah asal atau nenek. Mereka tergabung dalam satu kelompok marga menurut marga
ayah asal dan mereka terhadap sesamanya akan bertutur kahanggi. Selanjutnya, kahanggi
yang masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora adalah
kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat. Anakboru ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara
perempuan atau pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak
selamanya berfungsi sebagai kahanggi,
mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja terjadi pergantian fungsi
antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi
dari marga-marga lain. Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih fungsi menjadi anakboru pada kesempatan lain, yaitu
pada upacara adat yang diadakan oleh pihak yang menjadi pengambilan anak gadis
baginya. Untuk jelasnya, seorang dari kelompok marga Nasution, misalnya, yang
menjadi anakboru bagi kelompok marga
Lubis karena mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi mora pula bagi kelompok marga Hasibuan disebabkan yang bermarga
Hasibuan mengambil anak gadis dari keluarga Nasution. Demikian seterusnya,
sehingga pada setiap anggota dari kelompok marga yang satu terdapat tiga fungsi
secara menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia dalam suatu upacara
adat.
- Kombur jenaka Angkola Mandailing
Bentuk prosa tradisional humor, anekdot, dan
teka-teki merupakan bentuk-bentuk yang terdapat dalam kombur jenaka Angkola
Mandailing. Dongeng, humor dan anekdot yang diluahkan informan dalam kombur jenaka
ialah bentuk prosa kontemporari yang dominan dengan tema orang berwatak pintar
bodoh. Bentuk cerita jenaka orang berwatak pintar bodoh adalah simbol (ironi
yang bermaksim taktik cari simpati) yang memfokuskan kepada mitra bicara.
Penggunaan maksim pertuturan yang berbeda daripada maksim prinsip kerjasama dan
prinsip sopan santun pertuturan memberikan dua implikasi iaitu warga Angkola
Mandailing secara intensif berjenaka untuk memikat hati kawan (orang) secara
cerdik dan untuk mendapatkan simpati mitra bicara. Kesan mendapatkan simpati
dilakukan dengan ayat atau sekerat ayat ironi/metafora. Warga Angkola Mandailing
mematuhi strategi prinsip pertuturan sopan santun yang positif sebagai keperluan
strategi komunikasi dalam taraf sosial. Maksim pertuturan sopan santun positif
adalah sarana berkesan bagi memesrakan diri dengan orang secara harmoni. Berdasarkan
dapatan kajian ini maka kombur jenaka dianggap sebagai suatu jenis wacana
cerita jenaka berbentuk dongeng, humor, dan anekdot yang berkesan digunakan
dalam kehidupan harian warga Angkola Mandailing.
Falsafat Hidup Orang Mandailing
PODA NA LIMA SEBAGAI ETIKA HIDUP
Teringat dalam suatu falsafah dari tanah Mandailing Raya, telah disebutkan di
sana adanya Poda Na Lima (Kebaikan Lima Hal) adapun di situ disebutkan
yang erat kaitannya dengan kecintaan diri dengan lingkungan. Telah diajarkan
turun temurun oleh orang-orang tua dulu kala.
Paiyas Rohamu (Bersihkan Jiwamu), Paiyas Pamatangmu (Bersihkan
Tubuhmu), Paiyas Bagasmu (Bersihkan Rumahmu), Paiyas Pakaranganmu
(Bersihkan Lingkunganmu), Paiyas Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu).
Itulah Poda Na Lima yang sarat makna jika dipahami secara menyeluruh dan
dilaksanakan secara nyata.
Orang-orang tua di tanah Mandailing masih hapal dengan kaidah-kaidah tersebut.
Dulu merupakan petuah turun temurun di kalangan orang Mandailing. Dan kini
ironisnya kaidah-kaidah tersebut semakin dilupakan.
PAIYAS ROHAMU (Bersihkan Jiwamu)
Dijelaskan dalam kaidah agama bahwa setiap jiwa manusia yang di dalamnya penuh
dengan kekotoran-kekotoran batin akan membuat perilaku manusia tersebut jauh
dari kebaikan. Kebuasan jiwa manusia telah terbukti dimana-mana. Hanya manusia
yang kotor mata batinnya yang tega menebangi pohon-pohon demi materi juga tega
mengotori daratan, lautan dan udara demi kesenangan semata.
Berangkat dari falsafah Paiyas Rohamu (bersihkan jiwamu) telah mengajak kita
semua agar kembali membersihkan jiwa kita masing-masing. Tuntuntanlah jiwa kita
hidup selaras dengan alam. Mengajari semua perilaku kita dalam kehidupan sesuai
yang dijelaskan dalam tata nilai agama.
PAIYAS PAMATANGMU (Bersihkan
Tubuhmu)
Falsafah ini mengandung makna agar kita mencintai kebersihan, terutama
kebersihan tubuh kita. Dengan tubuh yang kotor bisa berpotensi menyebarkan
penyakit kemana-mana. Jaga tubuh kita agar jangan tertular berbagai penyakit
yang kini bertebaran. Ancaman virus ada dimana-mana. Penyakit merubah bentuk
dirinya dengan berbagai cara datang menghampiri tubuh-tubuh yang kotor dan tak
terawat.
Sangat sederhana namun bermakna. Di tengah kesibukan aktifitas kita dalam
kehidupan janganlah lupa membersihkan tubuh. Mandilah dengan benar. Pahamilah
kaidah-kaidah kesehatan dengan menyadari jika diri kita kotor otomatis bisa
menulari lingkungan kita dengan penyakit maka dari itu pakailah falsafah Paiyas
Pamatangmu (bersihkanlah tubuhmu).
PAIYAS BAGASMU (Bersihkan Rumahmu)
Banyak kita jumpai pemandangan yang menyesakkan mata melihat rumah-rumah kumuh
di pinggir kali. Begitu juga perkampungan di desa maupun di kota. Kotor dan sangat
tak terawat. Parit-parit rumah bertumpatan. Letak bangunan rumah berantakan.
Udara terasa sangat sesak. Malam hari banyak nyamuk beterbangan.
Jadi berita tentang kematian akibat demam berdarah sudah tak asing lagi bagi
kita. Nyamuk telah jadi pembunuh terbesar bagi manusia setiap tahunnya.
Walaupun nyamuk seekor hewan yang kecil namun karena kelalaian kita terhadap
hal-hal kecil telah membawa kita pada malapetaka yang besar.
Mengikuti dengan disiplin falsafah Paiyas Bagasmu (Bersihkan Rumahmu) akan
membawa kembali lingkungan rumah kita menjadi terawat dan tertata baik.
Tentunya mengubah kebiasaan hidup kita menuju lingkungan yang tertata.
PAIYAS PAKARANGANMU (Bersihkan
Lingkunganmu)
Adanya pemanasan global tak terkecuali akibat ulah manusia sendiri. Disengaja
atau tanpa disengaja telah membawa umat manusia di muka bumi ke arah kerusakan
lingkungan. Gaya hidup yang tidak peduli dengan keselamatan lingkungan kini
dikecam oleh sebagian manusia pecinta lingkungan hidup.
Jika jauh-jauh hari kita mengamalkan falsafah Paiyas Pakaranganmu (Bersihkan
Lingkunganmu) tentunya segala problema yang kini kita hadapi dengan lingkungan
bisa teratasi. Barangkali kelompok pecinta lingkungan hidup Green Peace
tidak akan ada saat ini.
Jadi agar lingkungan hidup kita kembali bisa berseri mari kita terapkan
falsafah ini. Kita terapkan pada diri kita masing-masing. Kita tularkan pada
keluarga-keluarga kita juga pada lingkungan dimana kita berada.
PAIYAS PARABITONMU (Bersihkan
Pakaianmu).
Salah satu nilai kebersihan pada seseorang adalah cara dia dalam merawat dan
membersihkan termasuk memperlakukan pakaiannya. Pakaian yang kotor dan tak
dicuci berhari-hari akan menimbulkan sarang-sarang penyakit di dalamnya. Menggantung
pakaian secara sembarangan akan mengundang nyamuk datang. Pakaian adalah cermin
kebersihan seseorang jadi dari itu bersihkanlah pakaian.
Alasan kesibukan dan tak adanya waktu bukan jadi alasan agar kita tak lagi
memperhatikan kebersihan pakaian kita. Ada banyak cara agar kita peka dengan
kebersihan pakaian kita. Falsafah Paiyas Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu) bisa
jadi spirit bagi kita karena jauh-jauh hari para leluhur kita telah begitu peka
dengan hal-hal yang kelihatan di mata kita sepele namun sebenarnya maknanya
besar..
Selain di tanah Mandailing tentunya banyak kaidah-kaidah tentang penyelamatan
lingkungan dan alam di wilayah luas nusantara lainnya. Tentunya perlu digali
kembali dan diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari sebelum kaidah tersebut
punah ditelan waktu dan tertelan oleh gaya hidup tak peduli lingkungan.
Kita perlu menggali titik-titik falsafah yang kini telah terkubur di dalam
kehidupan kita kini. Jauh sebelum kampanye global warming diserukan nenek-nenek
moyang kita telah lama menancapkan di dalam kehidupannya.
Bayangan bencana alam masih terus membayangi kita. Hujan yang turun tak beraturan, kemarau yang menikam. Longsor, meluapnya laut, danau, situ dan parit-parit rumahan.
Bayangan bencana alam masih terus membayangi kita. Hujan yang turun tak beraturan, kemarau yang menikam. Longsor, meluapnya laut, danau, situ dan parit-parit rumahan.
Mari kita lihat ke dalam diri kita. Pedulikah kita dengan hal-hal kecil tentang
lingkungan yang nantinya bila diabaikan bisa berubah besar di kemudian hari
menelan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Temukan falsafah kebaikan
tentang kecintaan pada lingkungan pada diri anda. Dan berbuatlah.
Budaya Kerja etnik mandailing berdasarkan falsafah hidup
masyarakat mandailing
- Giot ipas,
Giot ipas, bermakna ingin cepat selesai, maksudnya disini
yaitu, masyarakat etnik mandailing, jika bekerja selalu ingin cepat selesai
tidak ingin ribet, dan berbelit belit, sehingga jika dibawakan ke PNS, yang
merupakan pelayan negara maka pekerjaan yang dilakukan oleh PNS yang ber etnik
mandiling ingin selalu cepat selesai, jika kita mamndang dalam sudut pandang
internal masyrakat mandailing, bahwa, apapun pekerjaan yang dillakukan oleh
masyarakat mandailing, akn cepat selesai, terlepas dari hasilnya, yang jelas
cepat selesai.
Selanjutnya dari sudut pandang eksternal etnik
mandailing, bahwa orang lain, akan tertarik untuk mempekerjakan etnik
mandailing, karena pekerjaannya cepat selesai, selanjutnya, masyarakat lain
menilai bahwasanya jika berurusa denagan masyarakat mandailing akan mudah,
karena orang mandiling, ingin cepat selesai,
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, masyarakat mandiling,
yang bekerja sebagai PNS atau birokrat, akan memebrikan pelayanan terbaik pada
masyarakat, karena etnik mandailing tidak akan berbelit-belit dalam hal urusan
birokrasi, mereka ingin semua terselesaiakan dengan cepat sesuai dengan terget
yang akan dicapai oleh mereka.
Terlepas dari pada hal itu semua, falasafah hidup giot
ipas, ini nantinya akan melahirkan budaya kerja yang baru, bagi orang lain yang
bekerja sama dengan masyarakat mandailing, yaitu budaya kerja optimis, dimana
dalam psikologinya, orang yang bekerja dengan cepat, akan berlaku optimis pada
pekerjaan yang di embannya, hal ini menjadi hal positif pada falsaafah hidup
orang mandailing.
Namun, ada sisi negatifnya, dimana, masyarakat
mandailing, dengan falasafah hidup giot ipas ini, akan berlaku tidak jujur,
serba instan, jika pekerjaan yang di kerjakan tidak tepat waktu, hal ini,
karena nilai yang mereka anut adalah ingin cepat selesai, dan jika tidak selesai
maka akan berpengaruh pada psikologinya, bisa berupa stress, marah, dan
lainnya, hal ini tentunya mempengaruhi lingkungan kerjanya.
- Pragmatik tindak tutur.
Dalam setiap budaya,
termasuk budaya penutur bahasa Mandailing, ditemukan adanya prinsip umum kesantunan.
Di antara prinsip umum kesantunan itu adalah sifat kearifan, murah hati, rendah
hati, dan sifat simpatik terhadap orang lain. Sifat sifat tersebut, jika dibawakn pada saat
bekerja akan baik sekali, karena pada dasarnya, prinsip kesantunan, akan
berpengaruh pada lingkungan kerjai terkait dengan kekompakan.
Dalam hal pelayanan
publik, jika etnik mandaliang menaganut prinsip kesantunan ini, diamana sifat
kearifan, murah hati, rendah hati, dan simpatik, maka akan melahirkan pelayanan
yang baik, karena mutu pelayanan, dinilai dari prinsip kesantunan ini.
Kearifan, bermakana bahwa
seseorang yang berlaku arif, maka setiap keputusan yang dia ambil berdasarkan
dengan pertimbangan yang sangat matang. Sehingga potensi merugikan orang lain
sangatlah sedikit.
Selanjutnya murah hati,
rendah hati, dan simpatik, bermakna penting dalam mutu pelayanan, prinsip
simpatik diperlukan dalm pelayanan karena dalam pelayan kita sebagia pelayan,
harus faham dan mengerti dengan persoalan orang yang kita layani, sehingga
dalam hal ini timbul lah kualaitas layanan atau mutu layanan, yang sangat baik.
Kesimpulannya, dari tutur
bahasa etnik, mandialing kita dapat mengetahui, bahwa masyarakat mandailing
itu, bersifat arif dan simpatik, sehingga mutu layanan yang dihasilkan oleh
seorang mandiling dalm PNS sebagai birokrat sangatlah baik.
- Dalihan Na Tolu
Dalam
falsafah, dalihan na tolu, yang berarti tiga tungku, orang yang
tua lebih di hargai. Sistim sosial
ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur memiliki
hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak
menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan
dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa
menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.
Dari sisi religi, Dalihan Na Tolu menggambarkan
relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan
banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak
Belief in the High God (1963) menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan
Bala (Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing hulahula,
dongan-sabutuha dan boru.
- Kombur Jenaka
Kombur merupakan istilah mandailing
jika dimaknai dalam bahasa indonesia, sering diartikan “bergosip”, tapi jangan
berfikiran negatif dulu, kombur ala orang mandailing ini, tidak sama dengan
gosip yang dilihat di media elektronik, kombur jenaka ala etnik mandailing ini,
bersifat menghibur.
Jika dikaitkan dengan budaya kerja
etnik mandailing, maka kombur jenaka ini, bisa menjadi hiburan, pada saat
bekrja, sebagai birokrat ataupun PNS, budaya humor seharusnya ada, untuk
menghilangkan stres, ataupun untuk menghibur rekan sepekerajaan.
Namun, jika budaya kombur ini terus
dilakukan, tanpa mempertimbangkan orang yang kita humorkan, maka akan terjadi
juga semacam ketidak sesuaian. Yang terjadi pada lingkungan kerja, namun jika
dilakukan, hanya sesekali, tidak menjadi masalah yang serius, sehingga dapat
mengurangi stres. Intinya budaya ini, bisa positif dan bisa negatif, tergantung
penempatannya.
- Poda Na Lima
Poda na lima seperti penjelasan
sebelumnya merupakan etika hidup etnik mandailing, yang menjadi acuan
untuk melakukan tindakan. Tentu saja hal
ini bisa dikaitkan dengan budaya kerja,
karena budaya kerja juga termasuk di dalamnya, etika hidup yang mendasari
seseorang melakukan pekerjaan.
Teringat dalam suatu falsafah dari
tanah Mandailing Raya, telah disebutkan di sana adanya Poda Na Lima
(Kebaikan Lima Hal) adapun di situ disebutkan yang erat kaitannya dengan
kecintaan diri dengan lingkungan. Telah diajarkan turun temurun oleh
orang-orang tua dulu kala.
Paiyas Rohamu (Bersihkan Jiwamu), Paiyas
Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu), Paiyas Bagasmu (Bersihkan Rumahmu), Paiyas
Pakaranganmu (Bersihkan Lingkunganmu), Paiyas Parabitonmu (Bersihkan
Pakaianmu). Itulah Poda Na Lima yang sarat makna jika dipahami secara
menyeluruh dan dilaksanakan secara nyata.
Jika di kaitkan dengan
budaya kerja, maka dapat di jelaskan bahwasanya, ada kebaikan yang lima, yang
pertama yaitu paiayas rohamu hal ini bermakna bersihkan jiwamu atau
hatimu, tentu saja setiap orang dalam hidupnya akan membersihkan hatinya,
meskipun dalam implementasinya, jarang ditemukan, namun, jika nilai ini,
mengikat, maka akan terbentuklah jiwa yang bersih, dan hati yang bersih pula
tentunya, jika dikaitkan dengan budaya kerja, maka etnik mandailing bekerja
dengan kesungguhan dan dengan hati yang bersih.
Berikutnya, paiayas
pamatangmu yang bermakna bersihkan badanmu, disini dimaksudkan yaitu
bersihkan ragamu, jasmani, atu fisik tubuhnya, sehingga secara singkat, bahwa
etnik mandiling itu, baersih, atau pandai, membersihkan diri, jika dikaitakan
dengan budaya kerja, tentu akan menimbulkan kenyaman tersendiri di lingkungan
kerja.
Selanjutnya, paiyas
bagasmu bermakna bersihkan rumahmu, pernyataaan ini, jika kita kaitakan
dengan budaya kerja kembali lagi pada kenyaman yang diberikan oleh etnik
mandiling di lingkangan kerjanya. Hal ini tentu, yang menjadi salah satu
sayarat, bagusnya mutu pelayanan. Yang diberikan.
Seterusnya, paiayas pakaranganmu, dan paiyas parbitonmu, yang
keseluruhannya bermakna kebersihan, yang tentunya saja menjadikan mutu
pelayanan baik, karena kenyamanan yang diberikan.
Budaya kerja Masyarakat Mandiling
PNS
yang berasal dari etnik Mandailing PNS dalam pelayanan publik berkaitan dengan
budaya kerja keberanian dan kearifan, mempunyai kecenderungan adanya keberanian
mengambil suatu langkah kebijaksanaan, terutama bilamana yang berurusan
tersebut orang-orang yang sama etnik dengannya, ini sejalan dengan semboyan “alak
hita”. Ini sejalan dengan bentuk budaya kerja etnik Mandailing yang
mempunyai ikatan primodial yang tinggi, berani dalam menghadapi sesuatu dan
rasa setiakawan yang kuat. Namun cenderung keberanian mengambil kebijakan
tersebut dilakukan kurang perhitungan, karena ingin segera selesai sesuatu
urusan. Dalam hal terlihat adanya kurang arif dalam mengambil kebijaksanaan
tersebut.
Selain
itu di kalangan etnis mandailing juga dikenal budaya giot hipas dimana para PNS
atau pegawai lainnya cenderung selaga pekerjaan yang di kerjakannya ingin
selalu cepat-cepat selesai atau selalu ingin mengebut. Karena etnis Mandailing
cenderung tidak ingin melama-lamakan pekerjaannya dan tidak suka hal yang
bertele-tele dan merumitkan pekerjaannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Intan fadillah. 2013. Jurnal partisipasi Etnis Mandailing
dikecamatan Rambah Samo Rokan Hulu. Universitas Riau : Pekan Baru
Rosmawati Harahap. 2011.
Kombur Jenaka Angkola Mandailing. Dokter Falsafah : Universitas Utara Malaysia.
Hetti Waluati Triana. Strategi Komunikasi Antara
Budaya Minangkabau-Mandailing. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol : Padang
.
Aldri Frinaldi. 2011.
Pengaruh Budaya Kerja Etnik terhadap budaya kerja Keberanian dan
Kearifan PNS dalam Pelayanan public yang Prima. Universitas Negeri Padang :
Padang
Aldri Frinaldi,
Muhammad Ali Embi. 2011. Pengaruh budaya kerja Etnik terhadap budaya kerja
Keadilan dan keterbukaan PNS dalam membangun masyarakat madani dan demokrasi.
Universitas Negeri Padang, Universitas Utara Malaysia.
Aldri Frinaldi. 2013.
Budaya kerja Giot Hipas dalam kalangan PNS etnik Mandailing. Universitas Negeri
Padang : Padang
Ida Bagus Gede Surya
Diputra. Pengaruh budaya Organisasi dan kepuasan kerja terhadap motivasi kerka.
Universitas Udayana Bali : Bali
Prihatin Lumbanraja. Pengaruh
Kriteria Individu, gaya kepemimpinan organisasi terhadap kepuasan kerja dan
komitmen organisasi. Uniersitas Sumatera Utara : Medan
Namsyah Hot Hasibuan.
2005. Perangkat Tindak Tutur dan siasat Kesantunan berbahasa. Universitas
Sumatera Utara : Medan
Dian Syafitri. 2012.
Tindak tutur Dalihan na Tolu Pada prosesi makkobaar dalam upacara adat
angkola-Mandailing. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung
Sardjono. 2006.
Masyarakat local Mandailing.Universitas Sumatera Utara : Medan
khairina nasution, 2005 pemajemukan dalam bahasa
mandailing, fakultas sastra universitas sumatera utara : medan
intan fadillah, 2013 partisipasi etnis mandailing
di kecamatan rambah samo rokan hulu riau, fkip unri, riau
Hamzah dan Sunaryo, 2006, Kategorisasi Kata Emosi pada Bahasa
Mandailing: Suatu Kajian Eksploratif, FBS-UNP,
Padang.
Harahap nuryati, 2007,
makna hata-hata jampi dalam budaya mandailing angkola, jurnal, bahasa dan
sastra logat, UPI, Bandung
0 komentar:
Posting Komentar