Kamis, 05 Maret 2015

BUDAYA KERJA ETNIS MANDAILING



Oleh Rizki Nur Zakiah
Ilmu Administrasi Negara FIS UNP
 
Budaya
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki artimengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurutSoerjanto Poespowardojo 1993).  Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Budaya ialah segala tindakan keatas sesuatu sehari-hari yang diperoleh seseorang daripada kebiasaan, yang merupakan sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan melekat pada dirinya melalui pengalaman dalam kehidupan kelompok masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2002). Keadaan ini terbentu dengan kekhasan etnik, keadaan geogfrafis suatu daerah. Karena kehidupan manusia senantiasa dalam berkelompok maka sejalan dengan persebaran kelompok manusia terbentuk berbagai etnik yang mempunyai kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai dasar membentuk aturan dalam kelompok masyarakat tersebut.
Budaya kerja
            Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.
Budaya ialah segala tindakan keatas sesuatu sehari-hari yang diperoleh seseorang daripada kebiasaan, yang merupakan sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan melekat pada dirinya melalui pengalaman dalam kehidupan kelompok masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2002). Keadaan ini terbentu dengan kekhasan etnik, keadaan geogfrafis suatu daerah. Karena kehidupan manusia senantiasa dalam berkelompok maka sejalan dengan persebaran kelompok manusia terbentuk berbagai etnik yang mempunyai kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai dasar membentuk aturan dalam kelompok masyarakat tersebut.
Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendoong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.
Etnis Mandailing
            Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda di suku Batak lainnya, yang mengenal hampir  500 marga. Seperti halnya di Karo, Nias, Gayo , Alas, marga-marga di Mandailing umumnya tak mempunyai keterkaitan kekerabatan dengan Batak.
Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), rambe, Dalimunthe,Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay (Daulae), Matondang, Hutasuhut. Marga-Marga Mandailing, menurut hatobangon ( orang yang di tuakan ), di Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga). Di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas. Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.
             Etnis Mandailing merupakan salah satu sub etnis Batak yang berdiam diri di wilayah sepanjang Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Utara tepatnya di daerah Tapanuli bagian Selatan. Pembagian wilayah di Sumatera Utara yang menyebabkan pengelompokan daerah-daerah tersebut dalam satu kelompok suku bangsa Batak dilakukan oleh bangsa Belanda ketika pertama kali datang ke daerah ini. Pembagian wilayah tersebut terus berlangsung sampai saat ini sehingga masyarakat luas hanya mengetahui bahwa Mandailing merupakan bagian dari daerah suku bangsa Batak (M. Arbain Lubis, 1993 : 3).
             Masyarakat Mandailing menyatakan bahwa kelompok masyarakat mereka bukan ‘Batak’ seperti yang selama ini diketahui banyak orang. Sejak lama masyarakat Mandailing tidak mau disebut sebagai orang Batak. Mereka banyak mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Mandailing berbeda dengan orang Batak. Beberapa bukti berupa data dan penelitian tentang asal usul Mandailing semakin memperkuat kepercayaan tersebut dan melahirkan pernyataan baru yang mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Batak yang ada sekarang ini justru berasal dari Mandailing.
Tipe masyarakat Mandailing
Etnis Mandailing merupakan orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun dimanapun ia bertempat tinggal, adapun marga atau klan dari etnis Mandailing adalah Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lainnya, sebagai tambahan adalah marga tersebut diperoleh berdasarkan garis keturunan langsung dari pihak ayah (Patrilineal) sehingga marga yang diperoleh berdasarkan pemberian tidak berfungsi atau bermakna apapun, pemberian marga merupakan suatu proses penghormatan terhadap seseorang yang dinilai memiliki peran besar terhadap kehidupan masyarakat Mandailing, namun pada saat sekarang ini pemberian marga dilakukan secara sepihak oleh sebahagian golongan dengan tujuan yang mementingkan diri sendiri.
Secara sederhana masyarakat Mandailing dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1. Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
2. Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
3. Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
4.Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
5. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
6. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
7. Golongan yang menerima pemberian marga dan peduli serta paham adat Mandailing,
Dari beberapa golongan tersebut yang menjadi fokus penulisan adalah sikap yang muncul dari masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak memiliki pemahaman yang memadai terhadap adat budaya Mandailing, pada satu sisi golongan ini berusaha untuk mempersepsikan masyarakat Mandailing menurut pemikirannya sendiri tanpa ada respon dari masyarakat Mandailing itu sendiri dan pada sisi lainnya golongan ini berupaya untuk menjadi sumber informasi atas adat budaya Mandailing dengan tujuan membentuk citra individu, hal seperti ini lazim terjadi karena beberapa faktor pendukung, antara seperti : 1. Kebutuhan ekonomi, 2. Otoriter, 3. Pemahaman yang kurang terhadap adat budaya Mandailing.
Sistem Kemasyarakatan
Berbicara tentang sistem kemasyarakatan, dalam hubungannya dengan masyarakat Mandailing, berarti berbicara pula tentang sistem adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Adat sejak lama telah mengatur dan memberi ketetapan berupa hukum-hukum adat dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Sekalipun agama dan sistem-sistem lainnya terdapat dalam kehidupan, namun peranan sistem adat yang telah berlaku sebelumnya tampak masih mendominasi, terutama dalam kehidupan tradisional. Masyarakat Mandailing tersusun dalam kelompok-kelompok patrilineal genealogis. Garis turunan mengikuti pihak ayah. Seorang anak termasuk dalam marga ayahnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu hubungan permanen antara kelompok kerabat yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu berarti ‘tungku yang tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk menjamin keutuhannya serta menjamin keselamatan apa saja yang ditaruh di atasnya. Susunan seperti itu ditemukan dalam peraturan adat guna kemantapan dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah keluarga atau sebagai anggota masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan dalam lembaga dalihan na tolu. Dia merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga yang timbul sebagai akibat dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di satu pihak dan menurut garis keturunan di pihak lain.
Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen lembaga ini adalah: kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah barisan keturunan laki-laki yang berasal dari satu ayah asal atau nenek. Mereka tergabung dalam satu kelompok marga menurut marga ayah asal dan mereka terhadap sesamanya akan bertutur kahanggi. Selanjutnya, kahanggi yang masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora adalah kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat. Anakboru ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara perempuan atau pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak selamanya berfungsi sebagai kahanggi, mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja terjadi pergantian fungsi antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi dari marga-marga lain. Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih fungsi menjadi anakboru pada kesempatan lain, yaitu pada upacara adat yang diadakan oleh pihak yang menjadi pengambilan anak gadis baginya. Untuk jelasnya, seorang dari kelompok marga Nasution, misalnya, yang menjadi anakboru bagi kelompok marga Lubis karena mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi mora pula bagi kelompok marga Hasibuan disebabkan yang bermarga Hasibuan mengambil anak gadis dari keluarga Nasution. Demikian seterusnya, sehingga pada setiap anggota dari kelompok marga yang satu terdapat tiga fungsi secara menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia dalam suatu upacara adat.
Minimal, kelompok kerabat yang tiga tersebutlah yang bertanggungjawab atas terlaksananya suatu upacara atau musyawarah adat. Untuk kesempurnaan musyawarah, dalihan na tolu lazimnya dilengkapi dengan kehadiran pengetua adat dan hatobangon. Hatobangon adalah perwakilan dari setiap kelompok marga yang dituakan oleh masyarakat karena kepandaian dan kecakapannya dalam bidang peradatan, di samping kepribadiannya yang terpuji. Pengetua adat, yang biasa disebut panusunan bulung atau raja na toras, adalah pihak yang berkuasa pada suatu kampung. Jika sesuatu sudah merupakan hasil mufakat bersama dari kelima komponen tersebut, segala sesuatunya harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Keutuhan hasil mufakat bersama biasanya disimbolkan dengan kehadiran perangkat burangir ‘sekapur sirih’. Burangir yang terdiri dari: daun sirih, kapur sirih, gambir, pinang, tembakau; masing-masing merupakan simbolisasi dari pihak yang turut dalam penetapan suatu keputusan. Daun sirih, kapur sirih, gambir, ketiganya merupakan simbolisasi keikutsertaan pihak suhut, kahanggi, dan anakboru; sedangkan pinang dan tembakau menyimbolkan mora dan hatobangon atau pengetua adat dalam majelis peradatan. Apabila kelimanya telah disatukan, setelah dikunyah, akan menghasilkan air pekat berwarna merah padam yang dengan detergen apapun digunakan dalam upaya menghilangkannya, setelah mengenai kain putih, biasanya akan berakhir dengan sia-sia. Demikian kekutan putusan musyawarah adat yang disimbolkan dengan kehadiran burangir.
Budaya Masyarakat Mandailing
1.      Budaya Kerja “Giot Ipas”...
Giot ipas tersebut adalah bentuk cara kerja yang dilakukan dengan maksud ingin suatu pekerjaan itu cepat selesai dikerjakan oleh PNS yang berasal daripada etnik Mandailing.
Mandailing merupakan nama suku bangsa (etnik) yang mendiami sebahagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, provinsi Sumatera Utara. Sebagian dari mereka telah mulai bermigrasi ke Pasaman dan Pasaman Barat sejak lama, bahkan telah terjadi sebelum keberadaan kaum Paderi di Sumatera Barat (Minangkabau). Namun, orang Mandailing bermigrasi dalam jumlah besar ke Pasaman terjadi pada awal abad XVIII. Hal ini disebabkan peristiwa pemberontakan tiga kerajaan Gunung Tua, Pidoli Lombang, Pidoli Dolok dan Pidoli Lombang, terhadap kekuasaan Baginda Mangaraja Enda, raja diraja Mandailing Godang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bagi melihat budaya kerja etnik dalam kalangan PNS di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Fokus penelitian ini pada bentuk budaya kerja yang disebut dengan istilah digunakan dalam penelitian ini adalah budaya kerja Giot Ipas. Makna Giot Ipas merujuk berbagai sumber literatur dalam penelitian Damanik, dkk (2005); Sya’roni (2008); Syahron Lubis (2009); Aldri dan Muhamad Ali (2011) ; Aldri dan Muhamad Ali (2012) ; Aldri (2012); Dona (2012) dan Hetti ( 2012). Hasil penelusuran pemaknaan tersebut juga dilakukan beberapa orang masyarakat berasal dari etnik Mandailing di Kabupaten Pasaman Barat maupun yang berdomisili di Kota Padang, sebelum melakukan pengumpulan data di lapangan, bermakna yaitu Ingin Cepat Selesai. Dengan demikian pemaknaan yang digunakan dalam penelitian ini budaya kerja giot ipas tersebut adalah bentuk cara kerja yang dilakukan dengan maksud ingin suatu pekerjaan itu cepat selesai dikerjakan oleh PNS yang berasal daripada etnik Mandailing. Informan dipilih dengan cara purposive dengan kriteria PNS yang berasal etnik Mandailing bekerja pada pemerintah daerah kabupaten Pasaman Barat.
  1. Pragmatik Perangkat Tindak TUTUR
Tuturan pada dasarnya dapat dibedakan atas dua jenis. Yang pertama adalah tuturan yang bersifat performatif dan tuturan yang bersifat konstantif. Selanjutnya, dinyatakan bahwa semua tuturan pada dasarnya bersifat performatif, yang berarti bahwa dua hal terjadi secara bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action), dan kedua berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu ilokusi, lokusi, dan perlokusi (lihat Austin dalam Saeed 2000). Ilokusi merupakan tuturan dengan sekaligus melakukan sesuatu. Lokusi dimaksudkan sebagai pengucapan kalimat yang memiliki makna dan rujukan tertentu. sedangkan perlokusi merujuk pada tuturan yang digunakan untuk memperoleh efek-efek tertentu, seperti membuat orang merasa terhibur, lebih yakin, ataupun marah. Selanjutnya, konsep performatif dapat meliputi bentuk tuturan yang eksplisit dan implisit. Jenis perfomatif yang implisit ternyata jumlahnya lebih banyak daripada yang eksplisit. Sebagai contoh tuturan performatif yang implisit dan eksplisit masing-masing dapat ditemukan pada yang berikut ini.
implisit : Ro ma ahu.
   datang lah aku
   ‘Saya (akan) datang’.
eksplisit : Marjanji bahaso ahu nangkan ro.
   Berjanji bahwa aku akan datang
‘Saya berjanji bahwa saya akan datang’.
Salah satu pendekatan dalam kajian makna yang saat ini sedang berkembang adalah teori tentang tindak tutur (theory of speech acts). Teori ini memandang semantik dengan liputan konteks yang lebih luas dalam komunikasi manusia. Unit dasar komunikasi dalam teori ini lebih ditekankan pada tindak tutur daripada sebatas kalimat. Terdapat tiga jenis tindak tutur, yaitu: lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi dimaknai sebagai tuturan faktual kalimat dengan arti tertentu. Ilokusi, sebagai maksud yang penutur miliki pada kalimat yang dituturkan; sedangkan perlokusi merupakan perolehan hasil dari penuturan kalimat. Di antara ketiga jenis tindak tutur tersebut, ilokusi lazimnya mendapat pembicaraan yang lebih banyak dari ahli. Lebih lanjut, ada yang membaginya ke dalam lima kategori ilokusi, yang
terdiri dari ilokusi representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Adanya daya ilokusi dalam tindak tutur membabitkan petutur untuk mengombinasikan pengetahuan linguistiknya dengan latar pengetahuan budaya serta pemahaman terhadap konteks saat bertutur. Penentuan pilihan penanda tindak tutur ternyata
tidak mudah karena penanda linguistik tidak berperan tunggal dalam operasionalnya. Jenis kalimat yang dikenal belum tentu selalu berkorelasi dengan tindak tutur. Dari uraian diperoleh isyarat bahwa kecekatan inferensial serta prinsip-prinsip percakapan bagi petutur amat menentukan dalam memahami suatu tindak tutur.
            Dalam interaksi sosial dikenal yang disebut kesantunan berbahasa, atau kesantunan saja. Kesantunan merupakan upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan muka orang lain. Istilah muka dimaknai sebagai citra diri seseorang dalam masyarakat. Terdapat dua aspek terkait dengan istilah muka, yaitu muka positif dan
muka negatif. Muka positif mengacu kepada kebutuhan untuk diterima dan disukai orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan muka negative merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang lain. Setiap jenis muka memiliki keinginan yang berbeda yang dapat disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masingmasing disebut kesantunan positif dan kesantunan negatif. Kesantunan positif berorientasi pada
penyelamatan muka positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang yang maksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa solidaritas dengan pendengarnya. Kesantunan negative merujuk kepada tuturan yang orientasinya menyelamatkan muka negatif orang lain. Dalam setiap budaya, termasuk budaya penutur bahasa Mandailing, ditemukan adanya prinsip umum kesantunan. Di antara prinsip umum kesantunan itu adalah sifat kearifan, murah hati, rendah hati, dan sifat simpatik terhadap orang lain. Dalam masyarakat Mandailing, prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat, baik formal maupun informal.

  1. Dalihan Na Tolu
            Dalihan na tolu berarti ‘tungku yang tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk menjamin keutuhannya serta menjamin keselamatan apa saja yang ditaruh di atasnya. Susunan seperti itu ditemukan dalam peraturan adat guna kemantapan dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah keluarga atau sebagai anggota masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan dalam lembaga dalihan na tolu. Dia merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga yang timbul sebagai akibat dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di satu pihak dan menurut garis keturunan di Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen lembaga ini adalah: kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah barisan keturunan laki-laki yang berasal dari satu ayah asal atau nenek. Mereka tergabung dalam satu kelompok marga menurut marga ayah asal dan mereka terhadap sesamanya akan bertutur kahanggi. Selanjutnya, kahanggi yang masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora adalah kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat. Anakboru ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara perempuan atau pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak selamanya berfungsi sebagai kahanggi, mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja terjadi pergantian fungsi antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi dari marga-marga lain. Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih fungsi menjadi anakboru pada kesempatan lain, yaitu pada upacara adat yang diadakan oleh pihak yang menjadi pengambilan anak gadis baginya. Untuk jelasnya, seorang dari kelompok marga Nasution, misalnya, yang menjadi anakboru bagi kelompok marga Lubis karena mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi mora pula bagi kelompok marga Hasibuan disebabkan yang bermarga Hasibuan mengambil anak gadis dari keluarga Nasution. Demikian seterusnya, sehingga pada setiap anggota dari kelompok marga yang satu terdapat tiga fungsi secara menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia dalam suatu upacara adat.
  1. Kombur jenaka Angkola Mandailing
Bentuk prosa tradisional humor, anekdot, dan teka-teki merupakan bentuk-bentuk yang terdapat dalam kombur jenaka Angkola Mandailing. Dongeng, humor dan anekdot yang diluahkan informan dalam kombur jenaka ialah bentuk prosa kontemporari yang dominan dengan tema orang berwatak pintar bodoh. Bentuk cerita jenaka orang berwatak pintar bodoh adalah simbol (ironi yang bermaksim taktik cari simpati) yang memfokuskan kepada mitra bicara. Penggunaan maksim pertuturan yang berbeda daripada maksim prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun pertuturan memberikan dua implikasi iaitu warga Angkola Mandailing secara intensif berjenaka untuk memikat hati kawan (orang) secara cerdik dan untuk mendapatkan simpati mitra bicara. Kesan mendapatkan simpati dilakukan dengan ayat atau sekerat ayat ironi/metafora. Warga Angkola Mandailing mematuhi strategi prinsip pertuturan sopan santun yang positif sebagai keperluan strategi komunikasi dalam taraf sosial. Maksim pertuturan sopan santun positif adalah sarana berkesan bagi memesrakan diri dengan orang secara harmoni. Berdasarkan dapatan kajian ini maka kombur jenaka dianggap sebagai suatu jenis wacana cerita jenaka berbentuk dongeng, humor, dan anekdot yang berkesan digunakan dalam kehidupan harian warga Angkola Mandailing.

Falsafat Hidup Orang Mandailing
            PODA NA LIMA SEBAGAI ETIKA HIDUP
            Teringat dalam suatu falsafah dari tanah Mandailing Raya, telah disebutkan di sana adanya Poda Na Lima (Kebaikan Lima Hal) adapun di situ disebutkan yang erat kaitannya dengan kecintaan diri dengan lingkungan. Telah diajarkan turun temurun oleh orang-orang tua dulu kala.
            Paiyas Rohamu (Bersihkan Jiwamu), Paiyas Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu), Paiyas Bagasmu (Bersihkan Rumahmu), Paiyas Pakaranganmu (Bersihkan Lingkunganmu), Paiyas Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu). Itulah Poda Na Lima yang sarat makna jika dipahami secara menyeluruh dan dilaksanakan secara nyata.
            Orang-orang tua di tanah Mandailing masih hapal dengan kaidah-kaidah tersebut. Dulu merupakan petuah turun temurun di kalangan orang Mandailing. Dan kini ironisnya kaidah-kaidah tersebut semakin dilupakan.
PAIYAS ROHAMU (Bersihkan Jiwamu)
            Dijelaskan dalam kaidah agama bahwa setiap jiwa manusia yang di dalamnya penuh dengan kekotoran-kekotoran batin akan membuat perilaku manusia tersebut jauh dari kebaikan. Kebuasan jiwa manusia telah terbukti dimana-mana. Hanya manusia yang kotor mata batinnya yang tega menebangi pohon-pohon demi materi juga tega mengotori daratan, lautan dan udara demi kesenangan semata.
            Berangkat dari falsafah Paiyas Rohamu (bersihkan jiwamu) telah mengajak kita semua agar kembali membersihkan jiwa kita masing-masing. Tuntuntanlah jiwa kita hidup selaras dengan alam. Mengajari semua perilaku kita dalam kehidupan sesuai yang dijelaskan dalam tata nilai agama.
PAIYAS PAMATANGMU (Bersihkan Tubuhmu)
            Falsafah ini mengandung makna agar kita mencintai kebersihan, terutama kebersihan tubuh kita. Dengan tubuh yang kotor bisa berpotensi menyebarkan penyakit kemana-mana. Jaga tubuh kita agar jangan tertular berbagai penyakit yang kini bertebaran. Ancaman virus ada dimana-mana. Penyakit merubah bentuk dirinya dengan berbagai cara datang menghampiri tubuh-tubuh yang kotor dan tak terawat.
            Sangat sederhana namun bermakna. Di tengah kesibukan aktifitas kita dalam kehidupan janganlah lupa membersihkan tubuh. Mandilah dengan benar. Pahamilah kaidah-kaidah kesehatan dengan menyadari jika diri kita kotor otomatis bisa menulari lingkungan kita dengan penyakit maka dari itu pakailah falsafah Paiyas Pamatangmu (bersihkanlah tubuhmu).
PAIYAS BAGASMU (Bersihkan Rumahmu)
            Banyak kita jumpai pemandangan yang menyesakkan mata melihat rumah-rumah kumuh di pinggir kali. Begitu juga perkampungan di desa maupun di kota. Kotor dan sangat tak terawat. Parit-parit rumah bertumpatan. Letak bangunan rumah berantakan. Udara terasa sangat sesak. Malam hari banyak nyamuk beterbangan.
            Jadi berita tentang kematian akibat demam berdarah sudah tak asing lagi bagi kita. Nyamuk telah jadi pembunuh terbesar bagi manusia setiap tahunnya. Walaupun nyamuk seekor hewan yang kecil namun karena kelalaian kita terhadap hal-hal kecil telah membawa kita pada malapetaka yang besar.
            Mengikuti dengan disiplin falsafah Paiyas Bagasmu (Bersihkan Rumahmu) akan membawa kembali lingkungan rumah kita menjadi terawat dan tertata baik. Tentunya mengubah kebiasaan hidup kita menuju lingkungan yang tertata.
PAIYAS PAKARANGANMU (Bersihkan Lingkunganmu)
            Adanya pemanasan global tak terkecuali akibat ulah manusia sendiri. Disengaja atau tanpa disengaja telah membawa umat manusia di muka bumi ke arah kerusakan lingkungan. Gaya hidup yang tidak peduli dengan keselamatan lingkungan kini dikecam oleh sebagian manusia pecinta lingkungan hidup.
            Jika jauh-jauh hari kita mengamalkan falsafah Paiyas Pakaranganmu (Bersihkan Lingkunganmu) tentunya segala problema yang kini kita hadapi dengan lingkungan bisa teratasi. Barangkali kelompok pecinta lingkungan hidup Green Peace tidak akan ada saat ini.
            Jadi agar lingkungan hidup kita kembali bisa berseri mari kita terapkan falsafah ini. Kita terapkan pada diri kita masing-masing. Kita tularkan pada keluarga-keluarga kita juga pada lingkungan dimana kita berada.
PAIYAS PARABITONMU (Bersihkan Pakaianmu).
            Salah satu nilai kebersihan pada seseorang adalah cara dia dalam merawat dan membersihkan termasuk memperlakukan pakaiannya. Pakaian yang kotor dan tak dicuci berhari-hari akan menimbulkan sarang-sarang penyakit di dalamnya. Menggantung pakaian secara sembarangan akan mengundang nyamuk datang. Pakaian adalah cermin kebersihan seseorang jadi dari itu bersihkanlah pakaian.
            Alasan kesibukan dan tak adanya waktu bukan jadi alasan agar kita tak lagi memperhatikan kebersihan pakaian kita. Ada banyak cara agar kita peka dengan kebersihan pakaian kita. Falsafah Paiyas Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu) bisa jadi spirit bagi kita karena jauh-jauh hari para leluhur kita telah begitu peka dengan hal-hal yang kelihatan di mata kita sepele namun sebenarnya maknanya besar..
            Selain di tanah Mandailing tentunya banyak kaidah-kaidah tentang penyelamatan lingkungan dan alam di wilayah luas nusantara lainnya. Tentunya perlu digali kembali dan diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari sebelum kaidah tersebut punah ditelan waktu dan tertelan oleh gaya hidup tak peduli lingkungan.
            Kita perlu menggali titik-titik falsafah yang kini telah terkubur di dalam kehidupan kita kini. Jauh sebelum kampanye global warming diserukan nenek-nenek moyang kita telah lama menancapkan di dalam kehidupannya.

          Bayangan bencana alam masih terus membayangi kita. Hujan yang turun tak beraturan, kemarau yang menikam. Longsor, meluapnya laut, danau, situ dan parit-parit rumahan.
         Mari kita lihat ke dalam diri kita. Pedulikah kita dengan hal-hal kecil tentang lingkungan yang nantinya bila diabaikan bisa berubah besar di kemudian hari menelan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Temukan falsafah kebaikan tentang kecintaan pada lingkungan pada diri anda. Dan berbuatlah.
Budaya Kerja etnik mandailing berdasarkan falsafah hidup masyarakat mandailing

  1. Giot ipas,
Giot ipas, bermakna ingin cepat selesai, maksudnya disini yaitu, masyarakat etnik mandailing, jika bekerja selalu ingin cepat selesai tidak ingin ribet, dan berbelit belit, sehingga jika dibawakan ke PNS, yang merupakan pelayan negara maka pekerjaan yang dilakukan oleh PNS yang ber etnik mandiling ingin selalu cepat selesai, jika kita mamndang dalam sudut pandang internal masyrakat mandailing, bahwa, apapun pekerjaan yang dillakukan oleh masyarakat mandailing, akn cepat selesai, terlepas dari hasilnya, yang jelas cepat selesai.
Selanjutnya dari sudut pandang eksternal etnik mandailing, bahwa orang lain, akan tertarik untuk mempekerjakan etnik mandailing, karena pekerjaannya cepat selesai, selanjutnya, masyarakat lain menilai bahwasanya jika berurusa denagan masyarakat mandailing akan mudah, karena orang mandiling, ingin cepat selesai,
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, masyarakat mandiling, yang bekerja sebagai PNS atau birokrat, akan memebrikan pelayanan terbaik pada masyarakat, karena etnik mandailing tidak akan berbelit-belit dalam hal urusan birokrasi, mereka ingin semua terselesaiakan dengan cepat sesuai dengan terget yang akan dicapai oleh mereka.
Terlepas dari pada hal itu semua, falasafah hidup giot ipas, ini nantinya akan melahirkan budaya kerja yang baru, bagi orang lain yang bekerja sama dengan masyarakat mandailing, yaitu budaya kerja optimis, dimana dalam psikologinya, orang yang bekerja dengan cepat, akan berlaku optimis pada pekerjaan yang di embannya, hal ini menjadi hal positif pada falsaafah hidup orang mandailing.
Namun, ada sisi negatifnya, dimana, masyarakat mandailing, dengan falasafah hidup giot ipas ini, akan berlaku tidak jujur, serba instan, jika pekerjaan yang di kerjakan tidak tepat waktu, hal ini, karena nilai yang mereka anut adalah ingin cepat selesai, dan jika tidak selesai maka akan berpengaruh pada psikologinya, bisa berupa stress, marah, dan lainnya, hal ini tentunya mempengaruhi lingkungan kerjanya.

  1. Pragmatik tindak tutur.
Dalam setiap budaya, termasuk budaya penutur bahasa Mandailing, ditemukan adanya prinsip umum kesantunan. Di antara prinsip umum kesantunan itu adalah sifat kearifan, murah hati, rendah hati, dan sifat simpatik terhadap orang lain. Sifat sifat tersebut, jika dibawakn pada saat bekerja akan baik sekali, karena pada dasarnya, prinsip kesantunan, akan berpengaruh pada lingkungan kerjai terkait dengan kekompakan.
Dalam hal pelayanan publik, jika etnik mandaliang menaganut prinsip kesantunan ini, diamana sifat kearifan, murah hati, rendah hati, dan simpatik, maka akan melahirkan pelayanan yang baik, karena mutu pelayanan, dinilai dari prinsip kesantunan ini.
Kearifan, bermakana bahwa seseorang yang berlaku arif, maka setiap keputusan yang dia ambil berdasarkan dengan pertimbangan yang sangat matang. Sehingga potensi merugikan orang lain sangatlah sedikit.
Selanjutnya murah hati, rendah hati, dan simpatik, bermakna penting dalam mutu pelayanan, prinsip simpatik diperlukan dalm pelayanan karena dalam pelayan kita sebagia pelayan, harus faham dan mengerti dengan persoalan orang yang kita layani, sehingga dalam hal ini timbul lah kualaitas layanan atau mutu layanan, yang sangat baik.
Kesimpulannya, dari tutur bahasa etnik, mandialing kita dapat mengetahui, bahwa masyarakat mandailing itu, bersifat arif dan simpatik, sehingga mutu layanan yang dihasilkan oleh seorang mandiling dalm PNS sebagai birokrat sangatlah baik.



  1. Dalihan Na Tolu
Dalam falsafah, dalihan na tolu, yang berarti tiga tungku, orang yang tua lebih di hargai. Sistim sosial ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.
Dari sisi religi, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963) menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala (Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing hulahula, dongan-sabutuha dan boru.
  1. Kombur Jenaka
            Kombur merupakan istilah mandailing jika dimaknai dalam bahasa indonesia, sering diartikan “bergosip”, tapi jangan berfikiran negatif dulu, kombur ala orang mandailing ini, tidak sama dengan gosip yang dilihat di media elektronik, kombur jenaka ala etnik mandailing ini, bersifat menghibur.
            Jika dikaitkan dengan budaya kerja etnik mandailing, maka kombur jenaka ini, bisa menjadi hiburan, pada saat bekrja, sebagai birokrat ataupun PNS, budaya humor seharusnya ada, untuk menghilangkan stres, ataupun untuk menghibur rekan sepekerajaan.
            Namun, jika budaya kombur ini terus dilakukan, tanpa mempertimbangkan orang yang kita humorkan, maka akan terjadi juga semacam ketidak sesuaian. Yang terjadi pada lingkungan kerja, namun jika dilakukan, hanya sesekali, tidak menjadi masalah yang serius, sehingga dapat mengurangi stres. Intinya budaya ini, bisa positif dan bisa negatif, tergantung penempatannya.
  1. Poda Na Lima
            Poda na lima seperti penjelasan sebelumnya merupakan etika hidup etnik mandailing, yang menjadi acuan untuk  melakukan tindakan. Tentu saja hal ini bisa dikaitkan dengan  budaya kerja, karena budaya kerja juga termasuk di dalamnya, etika hidup yang mendasari seseorang melakukan pekerjaan.
            Teringat dalam suatu falsafah dari tanah Mandailing Raya, telah disebutkan di sana adanya Poda Na Lima (Kebaikan Lima Hal) adapun di situ disebutkan yang erat kaitannya dengan kecintaan diri dengan lingkungan. Telah diajarkan turun temurun oleh orang-orang tua dulu kala.
            Paiyas Rohamu (Bersihkan Jiwamu), Paiyas Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu), Paiyas Bagasmu (Bersihkan Rumahmu), Paiyas Pakaranganmu (Bersihkan Lingkunganmu), Paiyas Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu). Itulah Poda Na Lima yang sarat makna jika dipahami secara menyeluruh dan dilaksanakan secara nyata.
            Jika di kaitkan dengan budaya kerja, maka dapat di jelaskan bahwasanya, ada kebaikan yang lima, yang pertama yaitu paiayas rohamu hal ini bermakna bersihkan jiwamu atau hatimu, tentu saja setiap orang dalam hidupnya akan membersihkan hatinya, meskipun dalam implementasinya, jarang ditemukan, namun, jika nilai ini, mengikat, maka akan terbentuklah jiwa yang bersih, dan hati yang bersih pula tentunya, jika dikaitkan dengan budaya kerja, maka etnik mandailing bekerja dengan kesungguhan dan dengan hati yang bersih.
            Berikutnya, paiayas pamatangmu yang bermakna bersihkan badanmu, disini dimaksudkan yaitu bersihkan ragamu, jasmani, atu fisik tubuhnya, sehingga secara singkat, bahwa etnik mandiling itu, baersih, atau pandai, membersihkan diri, jika dikaitakan dengan budaya kerja, tentu akan menimbulkan kenyaman tersendiri di lingkungan kerja.
            Selanjutnya, paiyas bagasmu bermakna bersihkan rumahmu, pernyataaan ini, jika kita kaitakan dengan budaya kerja kembali lagi pada kenyaman yang diberikan oleh etnik mandiling di lingkangan kerjanya. Hal ini tentu, yang menjadi salah satu sayarat, bagusnya mutu pelayanan. Yang diberikan.
Seterusnya, paiayas pakaranganmu, dan paiyas parbitonmu, yang keseluruhannya bermakna kebersihan, yang tentunya saja menjadikan mutu pelayanan baik, karena kenyamanan yang diberikan.
Budaya kerja Masyarakat Mandiling
PNS yang berasal dari etnik Mandailing PNS dalam pelayanan publik berkaitan dengan budaya kerja keberanian dan kearifan, mempunyai kecenderungan adanya keberanian mengambil suatu langkah kebijaksanaan, terutama bilamana yang berurusan tersebut orang-orang yang sama etnik dengannya, ini sejalan dengan semboyan “alak hita”. Ini sejalan dengan bentuk budaya kerja etnik Mandailing yang mempunyai ikatan primodial yang tinggi, berani dalam menghadapi sesuatu dan rasa setiakawan yang kuat. Namun cenderung keberanian mengambil kebijakan tersebut dilakukan kurang perhitungan, karena ingin segera selesai sesuatu urusan. Dalam hal terlihat adanya kurang arif dalam mengambil kebijaksanaan tersebut.
Selain itu di kalangan etnis mandailing juga dikenal budaya giot hipas dimana para PNS atau pegawai lainnya cenderung selaga pekerjaan yang di kerjakannya ingin selalu cepat-cepat selesai atau selalu ingin mengebut. Karena etnis Mandailing cenderung tidak ingin melama-lamakan pekerjaannya dan tidak suka hal yang bertele-tele dan merumitkan pekerjaannya.



DAFTAR PUSTAKA
Intan fadillah. 2013. Jurnal partisipasi Etnis Mandailing dikecamatan Rambah Samo Rokan Hulu. Universitas Riau : Pekan Baru
Rosmawati Harahap. 2011. Kombur Jenaka Angkola Mandailing. Dokter Falsafah :  Universitas Utara Malaysia.
Hetti Waluati Triana. Strategi Komunikasi Antara Budaya Minangkabau-Mandailing. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol : Padang .
Aldri Frinaldi. 2011.  Pengaruh Budaya Kerja Etnik terhadap budaya kerja Keberanian dan Kearifan PNS dalam Pelayanan public yang Prima. Universitas Negeri Padang : Padang
Aldri Frinaldi, Muhammad Ali Embi. 2011. Pengaruh budaya kerja Etnik terhadap budaya kerja Keadilan dan keterbukaan PNS dalam membangun masyarakat madani dan demokrasi. Universitas Negeri Padang, Universitas Utara Malaysia.
Aldri Frinaldi. 2013. Budaya kerja Giot Hipas dalam kalangan PNS etnik Mandailing. Universitas Negeri Padang : Padang
Ida Bagus Gede Surya Diputra. Pengaruh budaya Organisasi dan kepuasan kerja terhadap motivasi kerka. Universitas Udayana Bali : Bali
Prihatin Lumbanraja. Pengaruh Kriteria Individu, gaya kepemimpinan organisasi terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Uniersitas Sumatera Utara : Medan
Namsyah Hot Hasibuan. 2005. Perangkat Tindak Tutur dan siasat Kesantunan berbahasa. Universitas Sumatera Utara : Medan
Dian Syafitri. 2012. Tindak tutur Dalihan na Tolu Pada prosesi makkobaar dalam upacara adat angkola-Mandailing. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung
Sardjono. 2006. Masyarakat local Mandailing.Universitas Sumatera Utara : Medan
khairina nasution, 2005 pemajemukan dalam bahasa mandailing, fakultas sastra universitas sumatera utara : medan
intan fadillah, 2013 partisipasi etnis mandailing
di kecamatan rambah samo rokan hulu riau, fkip unri, riau
Hamzah dan Sunaryo, 2006, Kategorisasi Kata Emosi pada Bahasa Mandailing: Suatu Kajian Eksploratif, FBS-UNP, Padang.
Harahap nuryati, 2007, makna hata-hata jampi dalam budaya mandailing angkola, jurnal, bahasa dan sastra logat, UPI, Bandung

0 komentar:

Posting Komentar